Berat badan adalah masalah sejuta umat orang tua, khususnya orang tua milenial yang sedang dicekoki istilah stunting. Meski kebanyakan masalah adalah BB yang kurang, tapi ada juga masalah dengan BB berlebih. Di KMS atau kartu menuju sehat (buku panduan yang dimiliki orang tua dan wajib dibawa ketika ke dokter anak/posyandu, baik saat berobat maupun vaksin), ada kurva/grafik terkait BB, TB, dan lingkar kepala berdasarkan gender dan usia anak. Kalau mau unduh versi lengkap, baik untuk BB, TB, lingkar kepala, sampai body mass index versi WHO bisa mampir ke situs resminya. Atau Googling aja, tersedia gratis. Grafik yang di KMS juga sama saja, sih. Setau gue itu diadaptasi dari grafik WHO juga, kok. Di grafik ini, ada garis-garis berwarna hijau, jingga (oren), dan merah. Dikatakan aman, jika BB dan TB anak berada di garis hijau atau minimal oren. Dan orang tua harus mem-plot kurva/grafik ini tiap bulan untuk melihat tren BB dan TB anak. Apakah cenderung baik (tetap di garis hijau atau oren) atau stagnan/landai yang menunjuk ke weight faltering/failure to thrive atau justru terlalu naik hingga menuju obesitas?
Dua bulan lalu, usia 16 bulan, saat vaksin varisela dan MMR, Arsa dikatakan berstatus gizi baik, namun cenderung weight faltering karena BB-nya naik seret (irit) dan kurva KMS-nya landai. Plot KMS ini harus juga dilihat dari BB lahir anak. Berapa BB lahir memengaruhi status gizinya tiap bulan.
Melenceng sedikit dulu, ya. Pernah dengar istilah “trust the data” alias “data nggak akan boong”? Dalam parenting, memang insting itu penting, tapi data medis tetap harus banget dipertimbangkan. Anak yang terlihat kecil belum tentu tren KMS-nya jelek, pun sebaliknya. Baru kemarin gue baca curhatan seorang ibu-ibu di Whatsapp grup. Anaknya baru berusia 5 bulan, tapi dianjurkan DSA untuk MPASI dini karena kenaikan BB-nya tidak bagus. BB-nya berapa? 8 kg aja, dong! Wow. 8 kg itu untuk anak usia 5 bulan cenderung “gemuk”, tapi balik lagi, harus dilihat dari BB lahirnya. DSA menyarankan si anak untuk MPASI dini (harusnya kan usia 6 bulan) karena kenaikan BB anak dari bulan lalu tidak mencapai kenaikan BB minimal.
Coba diingat, minimal BB naik anak memang berubah tiap (katakanlah) semester. Anak usia 0-6 bulan, memiliki tren naik BB antara 750-1000 gram (1kg) per bulan, anak usia 6-12 bulan antara 500-750 per bulan, anak usia 12 bulan dst. baiknya naik minimal 200 gram per bulan. Memang, makin naik usia anak, batas minimal kenaikan BB makin turun. Jadi, anak usia 0-6 bulan mengalami tren kenaikan BB paling tinggi. Makin dewasa, kenaikan BB akan makin irit.
Jadi, status gizi bukan hanya dinilai dari anak tersebut tampak kecil atau tampak gemuk. Anak usia 5 bulan dengan berat 8 kg jika kenaikan BB tiap bulannya tidak mencapai jumlah minimal bisa jadi akan disarankan MPASI ini atau ditambah sufor untuk mengejar garis hijau/oren di KMS. Mulai pusing, nggak, ibu-ibu?

(kurva BB anak laki-laki dan perempuan. bisa diunduh lengkap di situs resmi WHO)
Contoh lain, coba mampir ke IG (at)asiku.banyak. Anaknya sempat nggak naik BB selama beberapa bulan juga, lalu kalau sampai nggak naik lagi, dokter anak menyarankan sufor. BB anaknya sekarang 10 kg di usia 9 bulan. Bahkan, Arsa yang berusia 18 bulan saja BB-nya nggak sampai 10 kg, tuh. Tapi, terakhir ke dokter untuk vaksin DPT, Alhamdulillah, dikatakan BB-nya Arsa sudah catch up sesuai usianya. Artinya, BB-nya sudah naik per bulannya sesuai batas minimal, sudah masuk garis oren di KMS, sudah sesusai dengan TB dan usianya. Ini di usia 18 bulan, ya, di mana 2 bulan lalu seperti yang gue tulis di awal, Arsa sempat didiagnosis weight faltering.
Kesimpulannya apa ibu-ibu? Status gizi tidak dapat dikatakan baik/buruk sampai diukur dengan data medis, khususnya kenaikan tiap bulan sesuai usia yang dapat kita plot sejak lahir di kurva KMS, khususnya dengan bantuan dokter (jika dibutuhkan). Anak yang gemuk bisa jadi didiagnosis gagal tumbuh, anak yang terlihat kecil bisa dikatakan sukses tumbuh, pun sebaliknya. Untuk yang dikhawatirkan gagal tumbuh, dokter akan menawarkan beberapa opsi, misal screening ADB atau pemberian susu tambahan.
Perlu bahas screening ADB, nggak, ya, nanti makin muter-muter. Bahahaha . . .
Kalau temen-temen follow akun beberapa dokter anak atau baca artikel terkait stunting, pasti nggak asing dengan ADB (Anemia Defisiensi Besi). ADB ini konon banyak dialami anak-anak di negara berkembang. WHO bahkan menganjurkan sejak usia 12 bulan anak di-screening ADB lewat cek darah. ADB menjadi salah satu pencetus di mana BB anak sulit naik. Cara lain yang dapat ditempuh adalah pemberian suplemen zat besi sejak anak berusia 4 bulan berlanjut hingga usia 2 tahun. Selain screening ADB, ada banyak lagi tes kesehatan yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab BB anak seret, misalnya tes mantoux (untuk penyakit TB) atau cek kultur urine (untuk penyakit saluran kemih), dan tes-tes lain yang sebenarnya harus berdasarkan rekomendasi dokter anak atau dokter anak subspesialis nutrisi.
Eh, sebentar. Buat kalian yang belum jadi ibu atau sudah jadi ibu tapi risih atau heran kenapa, sih, ribet banget ngurusin BB anak aja? Biasanya, sih, yang sudah jadi ibu lebih can relate. Tapi, kalau kalian jadi lebih sering dengar ibu-ibu concern soal BB itu karena memang Indonesia lagi gencar-gencarnya meminimalisasi angka stunting. Stunting itu secara sederhana adalah gagal tumbuh yang akhirnya akan berpengaruh ke kemampuan berpikir (perkembangan otak). Angka stunting di Indonesia konon cukup tinggi. Malah, bisa jadi kita (kita hahaha) adalah produk stunting dari masa lalu. Lebih lengkapnya baca, ya. Sekarang kita coba meminimalisasi stunting ini. Mungkin sekarang terasa mati-matian karena masih terbatasnya informasi dan perbedaan pola asuh dengan orang tua kita, tapi setidaknya nanti di masa anak-anak kita sudah dewasa dan berkeluarga, mereka sudah melek dengan pencegahan stunting karena kita (orang tua mereka) pernah memperjuangkan hal ini (cie!).
Kembali ke tes kesehatan terkait BB seret.
Kelainan atau gangguan kesehatan akan membuat tubuh bekerja ekstra melawan gangguan tersebut, sehingga nutrisi yang didapat oleh makanan menjadi tidak berdampak, kasarnya sih begitu.
Nah, bagaimana dengan Arsa? Arsa memang belum mencoba untuk screening ADB, tapi dua bulan terakhir Arsa mencoba konsumsi susu tambahan (sebenarnya lebih tepat disebut makanan cair) sesuai saran dokter anak. Alasannya, selain screening ADB lumayan mahal, gue akan lihat dulu efek si susu ini. Ada banyak merek susu nutrisi/makanan cair ini antara lain Pediasure, Nutren Junior, Nutrinikid, dan lain-lain. Kebetulan Arsa mencoba Pediasure.
Dokter menyarankan untuk memberikan susu ini 2 kali sehari dengan dosis 125 ml sekali minum, di samping itu, Arsa masih konsumsi ASIP (kalau gue di rumah, full netek langsung) dan UHT kalau dia mau. Kebetulan, Arsa sudah nggak terlalu suka UHT, mungkin bosan. Dokter bilang, nanti kalau sudah cocok dosisnya bisa dinaikkan jadi 250 ml sekali minum. Oh, iya, dokter anak ini bilang untuk kasus anak yang benar-benar status kurang gizinya akut, bisa jadi si ibu disarankan berhenti kasih ASI atau berhenti kasih sufor dan full diganti susu nutrisi/makanan cair. Kalau anaknya cenderung berlebih BB-nya gimana? Kalau anaknya sudah makan, ya, bisa jadi si anak akan diminta mengurangi dosis makan utama atau jenis makanan tertentu. Gue nggak bisa bahas mendalam karena nggak mengalami langsung hehe…
Susu macam Pediasure dan merek sejenisnya ini memang dikhususkan untuk anak yang sulit makan, berpotensi gagal tumbuh, atau sedang masa penyembuhan pasca-sakit berat. Oke, gue coba kasih Arsa susu ini. Lalu, gue beli timbangan aja untuk di rumah supaya bisa ngecek kenaikan BB-nya selama gue belum ada jadwal konsultasi ke dokter anak.
Tanggal 6 kemarin, tepat 2 bulan Arsa konsumsi Pedisure dan barengan sama jadwal vaksin DPT combo ke-4, kami (gue dan suami) balik ke dokter yang sama (dr. Arifianto). Gue ceritain kenapa belum (mau) screening ADB. Gue juga cerita Arsa sempat dua kali sakit lumayan “berat” dalam dua bulan terakhir. Pertama cacar air, kedua baru saja common cold seminggu yang ngebuat dia demam tinggi dan tentu saja ogah makan. Dari penimbangan BB dan pengukuran TB, Alhamdulillah Arsa (menurut dokter) akhirnya berhasil aman di kurva KMS alias catch up (di garis oren). Untuk anak seusia Arsa, naik 500 gr dalam waktu 2 bulan sudahlah cukup. Dokter bilang, mungkin, kalau tidak sakit, kenaikan BB-nya akan lebih bagus dari saat ini. Tapi, setidaknya susu Pediasure-nya berdampak positif.
Alhamdulillah.
Kalau soal pola makan, sih, Arsa masih standar aja. Kadang mudah, sering susah. Apalagi baru sakit. Gue juga belum ngoyo menerapkan feeding rules karena 1) fokus mengejar KMS dulu, 2) masih berusaha menemukan momen yang pas untuk mengajarkan feeding rules ke orang yang asuh Arsa di rumah.
Oh, iya, temen-temen pernah denger feeding rules ini, kan? Gue nggak usah tuliskan di sini karena nanti makin melebar dan hal ini justru berkaitannya sama support system. Kita fokus cerita soal kenaikan BB lewat susu nutrisi dulu saja, ya. Kalau penasaran, coba saja Googling “feeding rules dokter Endah Citraresmi“. Intinya adalah mengajarkan kepada anak konsep lapar lewat jeda pemberian makan dan memberikan makan tanpa distraksi. Terdengar simple, tapi menurut gue penerapannya susahhhhh sekali . . .
Saat gue tanya ke dokter, kan, Arsa sudah berhasil catch up, nih, apa dia harus tetap screening ADB? Dokter bilang sebaiknya dicoba saja tapi nggak harus dalam waktu dekat, tapi disarankan sebelum usia 2 tahun. Mungkin karena golden period itu. Gue juga belum tau, sih, kapan mau screening. Sekarang BB Arsa sudah berhasil catch up pun bukan berarti santai-santai. Kalau nggak di-maintain, ya, plot KMS bulan depan landai lagi. Bahaya. Berarti teruskan pemberian Pediasure. Dan PR buat gue sebenarnya penerapan feeding rules itu. Juga bagaimana Arsa bisa makan tanpa gawai (ponsel atau televisi). Tapi, ya, sudahlah satu-satu saja agar tidak stres.
Buat ibu-ibu pejuang KMS yang baca ini. Ingat, ya, bentuk intervensi apa pun dalam pemberian susu atau makanan tambahan, mohon dikonsultasikan dulu dengan dokter. Gue menuliskan ini untuk berbagi pengalaman, tapi jangan serta-merta langsung kasih Pediasure dll., kecuali kalian juga pernah disarankan mencoba susu nutrisi, tapi beda merek, lalu tidak cocok dan ingin pindah merek. Banyak hal yang jadi penyebab anak BB-nya seret. Bisa jadi datang dari hal yang nggak kita sadari, yaitu psikis anak yang harus dibuat tenang/bahagia dulu agar dia siap makan dan tidak trauma untuk makan (self reminder). Jadi inget kata-kata, “anak bukanlah miniatur orang dewasa”.
Pertanyaan yang mungkin mengusik kita semua:
- Apakah pertumbuhan anak tidak dipengaruhi oleh genetis?
Jawaban: Kalau kalian pernah baca highlight IG dokter Meta Hanindita/@metahanindita (coba mampir. buat yang nggak suka bacaan panjang, highlight-nya merangkum ragam pertanyaan terkait gizi anak, jadi nggak bosen), pertumbuhan anak ternyata tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh genetis, khususnya di 2 tahun pertama usia anak (golden period). Faktor nutrisi sangat berperan, meski faktor genetis juga ada. KMS dibuat untuk semua anak tanpa mempertimbangkan orang tuanya kurus/gemuk dan pendek/tinggi. Artinya, ada standar minimal dan maksimal kenaikan BB & TB yang dapat di-plot ke dalam grafik. Secara psikologi, faktor nurture (lingkungan) juga lebih berpengaruh kepada perkembangan daripada nature (sifat bawaan). Menurut dokter Meta, warga Jepang yang dulu dikenal pendek-pendek, sejak menggalakkan pencegahan stunting, terlihat trennya bahwa secara postur generasi mereka kini lebih tampak proporsional.
- Mana yang lebih penting, besar kenaikan BB (dalam gram) atau status gizi berada di garis aman pada KMS? Bagaimana misalnya bulan ini kenaikan BB anak tidak mencapai batas minimal, tapi ketika di-plot di KMS masih di garis oren?
Jawaban: Seharusnya, sih, lebih utama lihat KMS masih di garis aman, ya. Tapi, seingat gue, kalau berturut-turut dua bulan saja si anak BB-nya flat atau malah turun, ketika di-plot kurvanya akan melandai. Inilah yang menyebabkan status “gizi baik” tapi tetap berpotensi stunting. Kalau weight faltering dibiarkan saja khawatir menjadi kurang gizi, bahkan stunting.