Perjalanan Menyusui Anak Keduaku, Mimas

Nusaiba Minas Anika Wibowo, lahir tanggal 5 September 2023, sekitar jam 08.00 pagi di Jakarta. Seorang anak perempuan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan hadir di keluarga kami. Keluarga yang kisahnya, sepertinya, biasa saja.

Sehari setelah kelahiran Mimas di sebuah rumah sakit lewat operasi besar bernama caesar, gue dan Mimas baru bisa room-in. Untunglah, meski ingin bertemu Mimas buru-buru, namun hari pertama pasca-operasi memang masih sulit untuk interaksi dengan bayi apalagi menyusuinya karena luka jahitan yang masih nyeri luar biasa.

Menyusui Mimas di hari pertama pertemuan kami terasa biasa, tidak ada kesulitan, dan Alhamdulillah ASI pun sudah kelaur, meski tentu saja sesuai kebutuhan perut bayi, alias masih sedikit. Begitupun di hari-hari awal Mimas di rumah, hingga pada seminggu setelah kelahiran, yaitu saat Mimas dibawa kontrol ke dokter anak. Saat ditimbang, berat badan Mimas (BB) belum kembali ke berat lahir (2,8 kg).

Seperti yang diketahui, biasanya berat bayi di tiga hari pertama setelah lahir akan turun ke nilai tertentu, namun harus kembali mendekati atau ke berat awal lahir setelah seminggu dilahirkan.  Mimas, saat itu, beratnya masih kurang dari 2,5 kg. Dokter anak tidak bisa memutuskan kira-kira kenapa karena memang butuh evaluasi atas beberapa kemungkinan. Namun, salah satu keputusannya adalah kami harus mengecek darah Mimas saat itu juga.

Setelah dilakukan pengecekan laboratorium, bilirubin Mimas memang cukup tinggi dan di atas nilai normal. Mimas mengalami jaundice atau yang dikenal dengan bayi kuning. Karena nilai bilirubin Mimas cukup tinggi untuk sekadar diterapi dengan ASI dan berjemur di rumah, sore itu juga Mimas disarankan menjalani fototerapi selama 1×24 jam alias harus rawat inap.

Meski terapi sinar sudah umum untuk bayi, tapi tetap saja, entah kenapa, vonis ringan ini terasa menyedihkan buat gue. Mungkin karena mendadak. Membayangkan Mimas harus disorot sinar hangat yang mungkin buatnya terasa panas 24 jam non-stop dengan tanpa pakaian, kecuali diaper. Untungnya, gue bisa room-in dengan Mimas, sehingga bisa menyusui on-demand selama Mimas menginginkan.

Otomatis, malam itu, gue dan Mimas menjalani malam yang panjang karena dilewati tanpa tidur. Mimas tampak tidak nyaman karena sinar biru itu pasti membuatnya dehidrasi, selain itu Mimas harus mengenakan kacamata pelindung yang justru membuatnya rewel. Mimas terus-menerus terbangun untuk menyusu dan buang air. Katanya, memang bilirubin yang tinggi akan dibuang lewat kemih dan kotoran. Waktu berjalan, meski terasa pelan. Dua puluh empat jam, Alhamdulillah, bilirubin Mimas dinyatakan turun ke batas normal untuk pulang ke rumah. Namun, kami harus kembali untuk kontrol dengan konselor laktasi segera.

Jelang berumur dua minggu, kami membawa Mimas ke konselor laktasi. Lewat percakapan yang cukup panjang, ada dua keputusan untuk Mimas. Pertama, Mimas harus insisi tongue tie dan lip tie. Kedua, Mimas harus diberi susu penunjang lewat Suplemental Nursing System (SNS). Sore itu juga, tindakan insisi dilakukan, lewat pengguntingan, yang katanya minor, dan lebih baik dilakukan sejak umur bayi masih sangat muda (awal kelahiran). Tindakan insisi ini harus dibarengi oleh terapi di rumah, yaitu senam lidah yang diajarkan konselor laktasi dan pemberian salep khusus di area insisi.

Kenapa pemberian susu khusus atau sufornya harus lewat SNS? Jadi, teknik ini melibatkan pemberian susu lewat selang sangat kecil yang ditempelkan ke puting susu ibu. Jadi, saat Mimas menyusu (direct breastfeed), dia akan mendapatkan dua jenis susu, ASI dan sufor tadi. Botol susunya ditempel atau dikaitkan di baju atau bra ibu. Menurut konselor, pemilihan SNS adalah untuk mendukung pemberian ASI selama dua tahun karena menghindari bingung puting yang mungkin terjadi jika menggunakan botol dot.

Pemberian SNS sendiri akan dihentikan jika BB Mimas sudah mencapai batas normal. Pemberian susunya dilakukan sebanyak 6 kali sehari dengan dosis awal sebanyak 30ml saja. Biasanya sesi ini gue kejar sejak pagi hingga malam sebelum tidur agar saat tengah malam Mimas terbangun untuk menyusu, kami tidak perlu membuat susu dan melakukan sesi yang tentu saja “merepotkan” ini. Susu khusus yang digunakan pun konon memiliki rasa hambar supaya bayi tidak memilih susu ini disbanding ASI.

Alhasil, perjalanan menyusui kedua gue dimulai dengan tantangan baru. Membuat susu, mensteril botol susu, menempelkan selang di puting, yang semuanya kadang harus berkejaran dengan tangisan Mimas yang tak sabar.

Hingga tulisan ini dibuat, susu yang kami beli sudah memasuki kaleng keempat, di umur Mimas yang hamper dua bulan. Kami juga harus kontrol rutin ke konselor laktasi untuk mengetahui perkembangan BB Mimas. Syukurlah, selama beberapa kali sesi kontrol, BB Mimas naik, meski kadang signifikan, kadang tidak.

Mungkin ada sedikit kecewa karena Mimas tidak sepenuhnya menjalani ASI eksklusif seperti kakaknya. Namun, mengingat ini untuk “menyelamatkan” BB Mimas yang memang sangat krusial bagi tumbuh kembangnya, gue lebih lega. Apalagi, penggunaan SNS juga pada akhirnya untuk mengusahakan ASI gue tetap lancar, sehingga bisa melakukan pemberian ASI secara kontinyu. Semoga bisa sampai dua tahun. Amin. Mungkin ini juga menjadi pengingat buat gue bahwa semuanya tidak harus sempurna, tidak harus ideal, dan jangan menilai opsi lain lebih buruk.

Tinggalkan Komentar